Riau
baru saja melaksanakan yang namanya pesta demokrasi. Atau yang lebih
familiar dengan kata Pemilihan Umum Kepala Daerah, bahkan ada istilah
khusus lagi yakni Pilgubri (Pemilihan Gubernur Riau).
Dari pelaksanaan itu, banyak hal yang menjadi pemikiran saya, yang mungkin anda juga. Mulai dari tumpang tindihnya hasil perhitungan suara dengan istilah "Quick Count" sampai tudingan beberapa pihak yang menyudutkan KPU Riau selaku penyelenggara.
Kondisi tersebut diperparah dengan pemberitaan berbagai media massa, yang saya nilai tidak berniat untuk mencerdaskan pembaca. Kebanyakan hanya setakat kepentingan. Boleh saja kita baca, baik media online maupun cetak.
Pada dasarnya, saya sepakat dengan KPU Riau yang meniadakan penghitungan cepat (Quick Count). Sebab, Quick Count tidak diperbolehkan undang-undang, jika KPU yang menggunakan.
Dalam Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2012 sudah sangat jelas dikatakan bahwan, dalam pengumuman hasil perhitungan suara dilakukan secara berkala. Artinya, pihak PPS akan melakukan penghitungan secara manual, setelah itu disampaikan ke PPK. Setiap PPK juga melakukan penghitungan juga dengan cara manual. Setelah itu, diberikan ke KPU Kabupaten Kota, guna melakukan hal yang sama.
Setelah KPU kabupaten kota melakukan perhitungan, barulah KPU Provinsi yang mengakhiri penghitungan. Dengan merekapitulasi hasil secara keseluruhan, KPU baru berhak mengeluarkan keputusan resmi.
Nah, proses ini tidaklah singkat. Butuh waktu yang cukup, supaya hasilnya benar-benar riil. Namun, sepertinya masyarakat tidak sabar untuk menunggu hasil tersebut. Mereka mulai mencari informasi tentang hasil Pilgubri. Kebetulan, para calon menggunakan Quick Count atau sebutan lainnya. Seyogyanya apa yang dilakukan timses tersebut hanya untuk konsumsi internal. Bukan malah disampaikan kepada khalayak ramai.
Yang lebih parah, seluruh pasangan mengklaim memenangkan Pilgubri. Pernyataan itu, berdasarkan Quick Count mereka, dan menuding hasil lawan tersebut bohong. Hasil tersebut langsung dipublis. Makin bingung masyarakat jadinya.
Seharusnya, dalam kondisi seperti ini media diminta untuk menerapkan unsur "security" dalam pemberitaan. Jangan main asal tulis saja.
Kadang, saya lihat beberapa media sangat senang memberitakan hal-hal negatif, yang kadang-kadang dipaksakan untuk ada. Bahkan, baru saja saya membaca sebuah berita yang mengatakan KPU Riau seperti orang TOLOL. Parahnya, yang ngomong seperti itu, salah satu Anggota Dewan. Pantaskah anggota dewan berbicara seperti itu? Jawabnya kembali ke diri masing-masing.
Harusnya, seorang Dewan ataupun Pengamat Politik ataupun sebutan lainnya, memahami kinerja dari KPU. Ini tidak, malah semakin memojokkan KPU. Kalau seandainya dia punya dasar berbicara seperti itu, saya pikir tidak masalah. Tapi, kenyataannya tidak. Mereka hanya asal omong doang. Mentang-mentang orang berkuasa, main seenaknya saja. Saya sangat kecewa, kalau hanya pengemis jalanan yang berbicara seperti itu, mungkin wajar. Sebab, mereka hanyalah kaum marjinal, bukan eksekutif ataupun ekslusif.
Sebetulnya, lagi-lagi media yang berperan. Wartawan harus paham dengan pola berita 5W+1HS, (bukan 5W+1H, saja). Dan perlu diingat, tidak semua omongan seseorang bisa ditulis dan dijadikan sebuah berita. Karena, itu belum tahu kebenarannya seperti apa. Wartawan harus berani melakukan klarifikasi.
Saya berpendapat, jika media melakukan tugas sesuai dengan fungsi dan perananannya, maka pencerdasan masyarakat sangat mudah diwujudkan. Sekali lagi, untuk wartawan, tolong pahami sembilan elemen jurnalisme. Kalau anda tidak paham, anda belum pantas untuk menyandang gelar wartawan.
*Sebuah catatan kecil jelang Pemilihan Umum Gubernur Riau 2013. Dibuat pada 5 September 2013 pukul 20:36 Wib
Dari pelaksanaan itu, banyak hal yang menjadi pemikiran saya, yang mungkin anda juga. Mulai dari tumpang tindihnya hasil perhitungan suara dengan istilah "Quick Count" sampai tudingan beberapa pihak yang menyudutkan KPU Riau selaku penyelenggara.
Kondisi tersebut diperparah dengan pemberitaan berbagai media massa, yang saya nilai tidak berniat untuk mencerdaskan pembaca. Kebanyakan hanya setakat kepentingan. Boleh saja kita baca, baik media online maupun cetak.
Pada dasarnya, saya sepakat dengan KPU Riau yang meniadakan penghitungan cepat (Quick Count). Sebab, Quick Count tidak diperbolehkan undang-undang, jika KPU yang menggunakan.
Dalam Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2012 sudah sangat jelas dikatakan bahwan, dalam pengumuman hasil perhitungan suara dilakukan secara berkala. Artinya, pihak PPS akan melakukan penghitungan secara manual, setelah itu disampaikan ke PPK. Setiap PPK juga melakukan penghitungan juga dengan cara manual. Setelah itu, diberikan ke KPU Kabupaten Kota, guna melakukan hal yang sama.
Setelah KPU kabupaten kota melakukan perhitungan, barulah KPU Provinsi yang mengakhiri penghitungan. Dengan merekapitulasi hasil secara keseluruhan, KPU baru berhak mengeluarkan keputusan resmi.
Nah, proses ini tidaklah singkat. Butuh waktu yang cukup, supaya hasilnya benar-benar riil. Namun, sepertinya masyarakat tidak sabar untuk menunggu hasil tersebut. Mereka mulai mencari informasi tentang hasil Pilgubri. Kebetulan, para calon menggunakan Quick Count atau sebutan lainnya. Seyogyanya apa yang dilakukan timses tersebut hanya untuk konsumsi internal. Bukan malah disampaikan kepada khalayak ramai.
Yang lebih parah, seluruh pasangan mengklaim memenangkan Pilgubri. Pernyataan itu, berdasarkan Quick Count mereka, dan menuding hasil lawan tersebut bohong. Hasil tersebut langsung dipublis. Makin bingung masyarakat jadinya.
Seharusnya, dalam kondisi seperti ini media diminta untuk menerapkan unsur "security" dalam pemberitaan. Jangan main asal tulis saja.
Kadang, saya lihat beberapa media sangat senang memberitakan hal-hal negatif, yang kadang-kadang dipaksakan untuk ada. Bahkan, baru saja saya membaca sebuah berita yang mengatakan KPU Riau seperti orang TOLOL. Parahnya, yang ngomong seperti itu, salah satu Anggota Dewan. Pantaskah anggota dewan berbicara seperti itu? Jawabnya kembali ke diri masing-masing.
Harusnya, seorang Dewan ataupun Pengamat Politik ataupun sebutan lainnya, memahami kinerja dari KPU. Ini tidak, malah semakin memojokkan KPU. Kalau seandainya dia punya dasar berbicara seperti itu, saya pikir tidak masalah. Tapi, kenyataannya tidak. Mereka hanya asal omong doang. Mentang-mentang orang berkuasa, main seenaknya saja. Saya sangat kecewa, kalau hanya pengemis jalanan yang berbicara seperti itu, mungkin wajar. Sebab, mereka hanyalah kaum marjinal, bukan eksekutif ataupun ekslusif.
Sebetulnya, lagi-lagi media yang berperan. Wartawan harus paham dengan pola berita 5W+1HS, (bukan 5W+1H, saja). Dan perlu diingat, tidak semua omongan seseorang bisa ditulis dan dijadikan sebuah berita. Karena, itu belum tahu kebenarannya seperti apa. Wartawan harus berani melakukan klarifikasi.
Saya berpendapat, jika media melakukan tugas sesuai dengan fungsi dan perananannya, maka pencerdasan masyarakat sangat mudah diwujudkan. Sekali lagi, untuk wartawan, tolong pahami sembilan elemen jurnalisme. Kalau anda tidak paham, anda belum pantas untuk menyandang gelar wartawan.
*Sebuah catatan kecil jelang Pemilihan Umum Gubernur Riau 2013. Dibuat pada 5 September 2013 pukul 20:36 Wib
No comments:
Post a Comment