Saturday, September 20, 2014

Surat Cinta Ketigabelas

Ketika rindu menimbun di hati, kegalauanpun menular dalam fikiran, sebuah cinta dalam penantian itu sungguh sangat menyakitkan

Pukul 07.00 cuaca begitu lembab dan rintik-rintik hujan masih turun. Jalan-jalan digenangi air. Karena semalam hujan turun dengan derasnya. Orang-orang masih belum ramai. Mungkin masih tertidur pulas. Yang ada hanya beberapa supir ojek di ujung jalan, persimpangan pasar. Pagi ini benar-benar dingin, tidak seperti biasanya. Aku terus berjalan menuju sebuah lorong yang diapit ruko-ruko. Ruko-ruko ini masih tertutup. Hingga langkahku terhenti diujung lorong. Tepat berada di depan sebuah bangunan bewarna orange.


Bangunan itu masih tertutup. Bahkan kaca jendelanya belum ada yang terbuka. Lantas aku duduk di kursi panjang yang terletak di beranda. Hampir di samping pintu masuk. Aku duduk sambil memperhatikan kendraan yang lalu lalang di jalan. Kebetulan gedung ini menghadap ke jalan raya.


Aku mendekap tangan ke dada. Mencoba mengurangi rasa dingin yang merasuk. Padahal aku sudah mengenakan sebuah jaket, tapi masih saja dingin. Sesekali aku menghirup udara yang begitu lembab secara dalam-dalam lewat hidung dan menghempaskannya lewat mulut dengan keras. Pengusir dingin.
Di seberang jalan, aku lihat seorang pria tua mengenakan celana pendek dengan kaos oblong. Lusuh dan kusut. Wajahnya sudah keriput. Kumis dan jenggot begitu panjang. Seolah ia tak pernah merapikan atau memotongnya. Semeraut. Badannya menggigil kedinginan. Ia biasa dipanggil orang-orang pasar dengan Pak Leh.

Entah bagaimana orang-orang bisa memanggil ia dengan Pak Leh. Mungkin saja karena ia seorang yang pemalas. Sebenarnya ia bukan asli orang Pasar. Menurut cerita Etek Emi, Pak Leh berasal dari Pulau Jawa. Ia merantau sejak masih berumur 16 tahun. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya hingga ia menetap di Pasar. Bahkan lagaknya seperti orang gila. Wajar kalau anak-anak Pasar sering menjahilinya. “orang gila…orang gila..orang gila..” teriak anak-anak kepadanya. Ia hanya diam ketika diganggu.
Sebenarnya ia tidak gila. Pak Leh hanya seorang yang pemalas. Akupun tak tahu mengapa Pak Leh begitu pemalas. Pernah suatu hari ketika aku duduk di kedai kopi Etek Emi, sebelah timur Pasar. Orang-orang menceritakan tentang kisah Pak Leh. Aku hanya menguping pembicaraan mereka.

13 Desember 1999. Hari ini merupakan hari istimewa buat Pak Leh, hari yang bersejarah, dimana lamaran ia diterima Solehah, meski ada syarat yang harus dipenuhi Pak Leh. Calon mertua Pak Leh ingin pesta perkawinan di buat semeriah mungkin. Dengan mengundang artis-artis ibukota. Dan Pak Leh harus mengabulkannya. Kalau tidak di penuhi, maka pertunangan itu dibatalkan. Dengan berat hati Pak Leh mengiyakan.

Pak Leh mohon izin kepada calon mertua  untuk merantau menjelang hari pernikahannya dengan Solehah. Karena latar belakang keluarga Pak Leh tergolong orang yang melarat. Ayahnya hanya tukang muat bongkar barang di kedai Shun Ho. Kedai milik orang cina. Gajinya hanya pas-pasan untuk makan satu hari. Sedangkan untuk membantu keluarga, ibunya mencoba berjualan ketuk –makanan yang terbuat dari ubi kayu yang dilumuri dengan kelapa parut- di pinggir jalan. Itupun masih kurang untuk jajan tiga orang adikknya yang masih sekolah tingkat dasar. Mau tidak mau Pak Leh pun harus ikut membantu orang tua dan memutuskan untuk berhenti sekolah. Ia menjadi kuli di Pasar Senin. Walaupun berat hati meninggalkan kedua keluarganya. “semua ini aku lakukan untuk kita,” ucapnya saat pamit pada keluarga.

“doakan mas supaya berhasil ya..ini juga demi masa depan kita,” katanya berlinang air mata saat perpisahan dengan Solehah. Solehah hanya diam. Suaranya tertahan di kerongkongan untuk beberapa saat. Akhirnya pecah juga. Yang keluar hanya lolongan yang meraung-raung melepas sang pujaan hati.
“jangan lupa kirimi aku surat yaa, mas,” harap Solehah.

Pak Leh berangkat menumpang sebuah truk pengangkut gula, menuju Jambi. Di jambi ada saudara jauh yang bekerja di perusahaan kelapa sawit milik perusahaan asing. Harapannya pun tercurah di jambi. Sepanjang jalan ia terus berkhayal tentang masa depannya.

Sampai di Jambi. Ia mencoba mencari saudara jauhnya itu. Hampir tiga hari mencari alamat. Dan akhirnya ia jumpa. Rumahnya lumanyan besar bila dibandingkan dengan rumah Pak Leh di Jawa. Saudaranya sudah berkeluarga, memiliki sepasang anak. Di depan rumah ia membuka warung kelontong.
Ternyata saudara Pak Leh tidak lagi bekerja di perkebunan kelapa sawit. Ia di berhentikan tiga bulan yang lalu. Karena kedapatan menjual pupuk perusahaan kepada orang lain. Ia pun di-PHK. Tapi, ia masih mendapatkan uang pesangon dari perusahaan, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar. Dari uang itulah ia memulai usaha baru. Berjualan.

Pak Leh ditawari untuk menjaga warungnya. Pak Leh dengan senang hati bersedia. Selain itu, Pak Leh mencoba bercocok tanam dibelakang rumah saudaranya. Dengan harapan hasilnya bisa dijual diwarung.
Wajah Solehah selalu melintas diotaknya. Tiada hari tanpa Solehah. Ia ingat akan pesan Solehah, lantas Pak Leh mengarang sebuah surat. Berisi tentang kabar da keadaan Pak Leh sendiri. Ia tak lupa mengirimi orang tuanya. Isinya hampir sama. Yang membedakan hanya beberapa kata. “buat adinda ku tersayang, Solehah” di kiri atas amplop. Ini surat pertama yang ia layangkan.

Seminggu setelah pengiriman surat cinta kepada Solehah, Pak Leh mendapat balasan dari Solehah. Yang intinya, Solehah sangat bangga dan bahagia bisa mendengar kabar Pak Leh. Ia berpesan agar Pak Leh menjaga cinta mereka. “aku menunggumu disini, mas” akhir dari surat itu. Tertanda Solehah.

Tiga minggu sudah Pak Leh berada di Jambi. Ia merasa jenuh dengan pekerjaan yang tidak menghasilkan keuntungan besar. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Riau. Setelah ia mendapat kabar dari tetangga ada pembukaan lowongan kerja. Pak Leh berangkat dengan beberapa orang teman baru. Ia pun mengirimi solehah surat tentang kepergiannya ke Riau.

Dua hari setelah itu, tepatnya minggu akhir Januari, Pak Leh menjejakkan kaki di tanah melayu, Riau. Di riau, Pak Leh tinggal ditempat saudara teman-teman dari jambi. Di daerah peranap. Benar. Ternyata ada lowongan kerja. Pak leh langsung melamar. Tanpa syarat dan ketentuan apapun Pak Leh diterima dan langsung dipekerjakan dengan gaji yang lumayan. Ia betugas mengurus kebun kelapa sawit Pak Lurah seluas 10 Hekto Are. Ia diberi fsilitas seperti rumah dan beras. Lumayan untuk seorang bujang.

“dik..mas sudah mendapatkan pekerjaan di Riau. Dengan gaji yang lumayan. Mas disini selalu merindukan dik. Semoga dik Leha selalu dalam lindungan Allah SWT. Rasanya mas ingin cepat-cepat pulang, meminang dik Lehah. Setelah itu, mas ingin membawa dik Leha merantau. Disini. Tapi, saat ini belum waktu yang tepat. Mas janji, selepas pesta perkawinan kita, akan memboyong dik Lehah kesini. Menikmati indahnya alam Riau” tertanda orang yang selalu menyayangimu.

Di daerah yang jauh dari kampong halaman, Pak Leh begitu rajin dan giat bekerja. Selain mengurusi kebun kelapa sawit, ia juga diberi bibit dan benih sayur-mayur. Ia mencoba bercocok tanam. Ia bekerja tak kenal waktu. Memanfaatkan setiap kesempatan yang dimilikinya. Dan bermimpi akan sebuah keindahan kehidupan mendatang yang membuatnya semakin semangat dalam bekerja.

“syukurlah mas, mas sudah bekerja. Jangan lupa rajin-rajin bekerja dan menabung. Aku dan keluarga disini baik-baik saja. Aku juga merindukan mas. Aku juga bermimpi sebuah kehidupan yang indah bersama mas,” sebuah kutipan balasan surat yang Pak Leh terima dari Solehah. Ini menjadi amunisi baru buat Pak Leh bekerja. Ketika ia sedang capek atau malas bekerja, maka ia dengan segera membaca surat cinta dari ornag yang disayanginya. Solehah lah satu-satunya motivator dalam hidup Pak Leh.

April. Tiga bulan sudah Pak Leh di Riau. Hasil usaha bercocok tanamnya sudah mulai terasa. Pak leh mencoba berjualan sayuran di pasar. Cukup laku dan laris. Kadang beberapa warga datang ketempatnya untuk membeli sayuran. Kadang ia mencoba meletakkan di warung. Semua usaha dilakukannya.

Ia sama sekali tak pernah lupa dengan pesan-pesan yang disampaikan solehah lewat surat-suratnya. Dan semua surat itu masih disimpannya bersama secarik poto Lehah dalam lipatan baju. Sesekali dibaca saat beristirahat. Hanya sekedar pelepas rindu. Pak leh sangat rajin menabung dan mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan yang pokok saja, seperti sabun mandi dan lain-lain.

Pikirannya kembali kepada orang tua yang sedang membanting tulang. Mencari nafkah untuk keluarga dan memenuhi kebutuhan adik-adik yang masih sekolah. Seketika sebongkah cairan bening keluar dari bola mata Pak Leh. Jatuh dan membasahi pipi yang kecut. “besok pagi aku harus mengirimi mereka,” tekadnya dalam hati. Ia pun mengirimi  keluarga dikampung hasil pencarian.

Oktober 2000, Pak Leh dengan semangat bergegas ke rumah Pak Lurah. Pak lurah mengirimi ia pesan kepada orang lewat tentang ada surat dari Solehah. “wah…cepat kali dibalas surat yang dikirim kemaren,” katanya sambil jingkrak-jingkrak bahagia.

“perasaan baru tiga hari yang lewat saya mengirimi Leha surat,” katanya sambil tersenyum seperti orang gila. Ia segera bergegas menuju rumah Pak Lurah, lima kilometer dari panggung yang ditunggunya. Ia mempercepat langkahnya. Seperti dikejar-kejar hantu.
“ini surat yang ketiga belas aku terima dari Lehah,” pikirnya lagi. Semua surat-surat yang Pak Leh terima dari Lehah.

Dari kejauhan Nampak lah rumah Pak Lurah dengan warna kuning. Pak Lurah lagi duduk di depan rumah bersama Ani. Anak perempuan Pak Lurah yang baru berumur empat tahun. Sangat jelas oleh Pak Leh, Pak Lurah tersenyum padanya.

“Pak Lurah memanggil saya?” Tanya Pak Leh.
“iya. Ada surat dari Solehah,” kata Pak Lurah sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Pak Leh mengikuti dari belakang, karena Pak Leh sudah menganggapnya seperti rumah sendiri.
“ini, suratnya sampai sore kemaren,’ kata pak lurah sambil menyodorkan sebuah amplop bewarna merah jambu.

“kok warna merah jaambu?” pak leh bertanya dalam hati. Biasanya Pak Leh selalu menerima amplop yang bewarna putih. Tanpa pikir panjang, Pak Leh keluar rumah menuju kursi di halaman. Dengan jantung yang berdetak tak menentu, Pak Leh mencoba membuka aplop. Nafasnya tertahan untuk seketika. Sebelum amplop terbuka. Tak biasanya Pak Leh merasa seperti ini. Perasaannya bercampur aduk.
Ia hanya duduk terdiam. Membisu. Tak sepatah kata terucap dari mulutnya. Badan pak leh gemetaran. Dingin. Seolah jantungnya berhenti memompa darah.

Pak lurah terheran-heran memperhatikan Pak Leh dari dalam rumah. Seribu pertanyaan sudah bertubi-tubi dalam otak pak lurah tentang isi surat yang diterima Pak Leh. “kenapa dia?” itulah pertanyaan pertama.
Pak Lurah bergegas menghampiri Pak Leh. “kenapa Kamu? Kok malah murung?”
Pak Leh hanya diam. Diam seribu bahasa.

“ada apa? Apa yang terjadi?” kembali Pak Lurah Bertanya.

Pak Leh hanya diam. Ia hanya menyodorkan surat yang diterimanya. Pak lurah membacaa dengan seksama. Tapi, tulisannya cukup singkat dan padat. “Solehah & Ridwan” itulah kata-kata yang menonjol. Pak Lurah terdiam untuk sesaat. Bingung harus ngomong apa. Ikut tertunduk lesu disamping Pak Leh.

Pak lurah tahu, selama ini Pak Leh berjuang dirantau yang jauh dari kampong halaman, jauh dari sanak keluarga, jauh dari Solehah, orang yang di cintainya, itu dilakukan demi solehah. Demi masa depan mereka. Kini, Pak Leh menerima surat yang ketiga belas bewarna merah jambu. Yang berisi undangan pernikahan. Pak lurah merasaka betapa hancurnya hati Pak Leh.

Dengan perasaan sedih, hati yang hancur, tanpa sepatah katapun Pak Leh pergi meninggalkan Pak Lurah. Berjalan menyusuri jalan hitam yang digenangi hujan semalam. Seakan langit merasakan kesedihan Pak Leh. Bumi merasakan betapa hancurnya hati Pak Leh.

Keesokan harinya Pak Lurah mendatangi panggung kediaman Pak Leh. Saying, Pak Lurah tak menemui siapapun disana. Menurut orang-orang Pak Leh tak pulang dari semalam. Pak Lurah tak pernah jumpa. Hingga suatu saat Pak Lurah pergi melihat saudaranya di Pasar Pangean ini. dari situlah orang-orang Pasar mengetahui kisah Pak Leh.

Sejak kejadian itu, Pak Leh menjadi orang yang pemalas. Orang yang tidak pernah berbicara dengan orang lain. Orang yang punya masa depan. Hatinya hancur.

“selamat pagi, bang,”

Aku kaget. Mendengar suara yang membangunkan aku dari lamunan cerita Pak Leh. Aku menoleh kesamping kiri. Ternyata sudah berdiri Dila, seorang petugas kantor pos cabang Pangean.

Dila membuka pintu, dan langsung masuk. Aku masih duduk diluar memperhatikan tingkah Pak Leh. Pak Leh masih duduk seperti semula. Ia tak hiruakan orang-orang yang mulai ramai.

“belum ada surat buang abang,” Dila berbicara dari dalam kantor. Aku hanya diam. Sebetulnya aku berharap hari ini mendapat balasan dari Dian, seorang perempuan Sunda yang aku kenal saat merantau di Negeri Jiran Malaysia. Kami berpacaran hampir Sembilan bulan, saat masih berada di Malaysia. Akhirnya kami dideportasi karena kekurangan surat izin. Ia kembali ke Jawa dan aku kembali ke Pangean.

Sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Hanya berbagi rindu lewat sebuah surat. Namun, lain pada hari ini, sudah hampir dua minggu Dian tidak membalas suratku. Aku sangat khawatir, apalagi teringat akan cerita Pak Leh. “seharusnya ini surat yang ketiga belas aku terima,” kataku dalam hati dengan perasaan risau yang bertubi-tubi. Ada apa dengan Dian? Tidak biasanya Dian lambat membalas suratku.

“ah..aku tak mau seperti pria itu,” kataku sambil menghempaskan nafas dengan kuat. Aku berlalu meninggalkan kantor pos. dan aku pasti kembali kesini esok hari, sampai galau yang bersarang dihatiku terjawab. Ini sudah aku lakukan sejak seminggu kemaren. Menunggu surat ketiga belas.

*Sandio Alpangeano adalah nama pena dari Wirman Susandi,
Mahasiswa Bimbingan Konseling UIN SUSKA Riau Angkatan ‘08.
Selain itu ia juga sebagai redaktur LPM Gagasan.
Sebuah Tabloid Kampus.
Sekre Gagasan, 11 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment